Presiden Rusia, Vladimir Putin (kiri) dan Presiden Chinam Xi Jinping, berpose untuk acara foto bersama dalam pertemuan mereka di Beijing pada 4 Januari 2022. (Alexei Druzhinin/Sputnik/AFP



Kompas.com - 17/05/2024, 08:33 WIB

KUNJUNGAN Presiden Rusia, Vladimir Putin, ke Beijing baru-baru ini bisa menjadi simbol hubungan Rusia-China yang semakin erat. Hubungan baik keduanya tampak paling mencolok setelah pecahnya perang di Ukraina. Saat dunia mengecam Rusia karena invasinya ke Ukraina, China justru bersikap netral. Keduanya juga terus melanjutkan hubungan diplomasi seperti biasa.  

Walau begitu, penting diketahui bahwa hubungan Rusia-China sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum invansi Rusia ke Ukraina. Bahkan, hubungan keduanya sudah ada dari masa ketika Rusia masih jadi bagian dari Uni Soviet. Uni Soviet menjadi salah satu negara yang pertama mengakui kemerdekaan China, tepatnya hanya sehari setelah proklamasi kemerdekaan China pada 1 Oktober 1949.

Sebagaimana negara yang baru merdeka pada umumnya, tahun-tahun pertama China dilalui dengan penuh tantangan dan kekurangan. China saat itu baru saja melewati era penjajahan Jepang dan perang sipil antara Partai Nasionalis dengan Partai Komunis. Saat China baru merdeka, China merupakan negara yang sangat miskin. Di sisi lain, Uni Soviet saat itu sudah menjadi kekuatan superglobal.  

Pada tahun 1950, China dan Uni Soviet sepakat untuk menandatangani Perjanjian Persahabatan, Aliansi, dan Saling Membantu China-Soviet. Sejak saat itu, China mulai secara rutin menerima bantuan Soviet. Tak hanya bantuan ekonomi, bahkan di masa-masa itu Soviet aktif mengirim ahli-ahli untuk membimbing pemerintah China dalam mengembangkan senjata nuklir.  

Selain pengembangan nuklir, diperkirakan Soviet juga telah mengirimkan 11.000 ahli untuk membangun kembali China pada tahun 1954-1958.  

Hubungan Soviet dan China saat itu juga tampak saat Perang Korea tahun 1950-1953, saat kedua negara sepakat untuk membantu Korea Utara berperang melawan Korea Selatan dan Barat.

Perpisahaan China-Soviet

Hubungan Soviet-China bertahan cukup baik sampai tahun 1969, ketika Soviet dan China akhirnya mulai bersitegang. Periode ini disebut sebagai Perpisahan China-Soviet.  

Hal yang mendorong ketegangan adalah perdebatan antara keduanya seputar ideologi komunisme, sengketa wilayah, hubungan dengan Barat, dan dukungan Soviet untuk India. Ketegangan antara keduanya terus mengalami eskalasi hingga akhirnya berujung pada konflik perbatasan yang berlangsung selama berbulan-bulan.  

Tahun 1980, perjanjian China-Soviet yang ditandatangani tahun 1950 akhirnya kadaluarsa. China menolak untuk memperbarui perjanjian itu akibat gagalnya negosiasi yang berupaya untuk menarik mundur pasukan Soviet dari perbatasan China-Uni Soviet dan Mongolia.  

Penolakan China untuk memperpanjang perjanjian juga didorong oleh penolakan Soviet untuk menarik pasukannya dari Afghanistan serta dukungannya terhadap invasi Vietnam di Kamboja.  

Penolakan China untuk memperpanjang perjanjian tersebut pun akhirnya secara resmi memutus hubungannya dengan Soviet.

Normalisasi hubungan China-Soviet

Walau begitu, putusnya hubungan antara keduanya tak berlangsung lama. Tahun 1982, keduanya mengadakan dialog guna menormalisasikan hubungan.  

Upaya normalisasi itu kemudian secara penuh berhasil tahun 1989 saat kunjungan ke China oleh pemimpin Soviet saat itu, Mikhail Gorbachev. Kunjungan Gorbachev itu sekaligus menandai pertama kalinya pertemuan formal antara pemimpin Soviet dengan China dalam 30 tahun.

Dua tahun setelah pertemuan formal tersebut, Uni Soviet runtuh. Walau begitu, hubungannya dengan China tetap berlanjut, diteruskan oleh ahli waris utama Soviet, yaitu Rusia.  

Sejak saat itu, hubungan antara keduanya semakin membaik seperti saat era-era awal China-Soviet. Di tahun 1992, Presiden Rusia, Boris Yeltsin, melakukan kunjungan ke China. Dua tahun kemudian, Rusia dan China menandatangani perjanjian demarkasi di wilayah barat pada perbatasan mereka. Perjanjian di perbatasan bagian timur sebelumnya telah ditandatangani tahun 1991.

Satu dekade setelah keruntuhan Soviet, tepatnya tahun 2001, China dan Rusia menandatangani Perjanjian Tetangga yang Baik dan Kerja Sama yang Ramah. Perjanjian tersebut menekankan pada kesepakatan kedua negara untuk tidak menyerang satu sama lain dengan senjata nuklir dan berjanji untuk memperkuat hubungan kerja sama.  

Tak hanya sekadar janji, kedua negara menunjukkan komitmen yang kuat untuk memenuhi perjanjian tersebut dan terus berupaya memperkuat hubungan melalui berbagai kesepakatan strategis hingga latihan militer bersama yang pertama kali diadakan tahun 2005.  

Hubungan antara Rusia-China semakin bertumbuh pesat setelah aneksasi Krimea oleh Rusia tahun 2014. Padahal, saat itu China tidak mengakui aneksasi tersebut. Meski begitu, pada akhirnya keduanya tetap berhubungan baik. Bahkan, satu tahun setelah aneksasi, keduanya memutuskan untuk memperdalam hubungannya dengan penandatanganan lebih dari dua lusin perjanjian bilateral.

Sampai dengan detik ini, hubungan Rusia-China masih sangat baik. Keduanya bahkan mengakui bahwa hubungan di antara mereka merupakan hubungan “tanpa batas”. Faktanya, hubungan keduanya begitu erat hingga menjadi ancaman besar bagi Barat dan Eropa.  

Tak hanya kedua negara itu yang berhubungan baik, kedua pemimpin mereka juga memiliki relasi personal yang erat. Sejak Presiden China Xi Jinping naik ke tampuk kekuasaan, ia dan Putin telah bertemu 40 kali. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan kunjungan presiden China ke pemimpin dunia lainnya.  

Xi Jinping juga menyebut Putin sebagai “sahabat dan kolega terbaiknya,” sedangkan Presiden Putin menyebut Xi sebagai “sahabat baik”.

Sumber : https://internasional.kompas.com/read/2024/05/17/083343670/perjalanan-hubungan-rusia-china-dari-era-soviet-sampai-saat-ini?page=2

Tags : Perundingan Nuklir

Artikel Terkait


Komentar


Daftar Komentar


- 0 -