Kesepakatan AS-Saudi. (Reuters)



Kamis, 30 Mei 2024 08:52 WIB

Riyadh - Pekan lalu, media-media melaporkan betapa Arab Saudi berada di ambang "kesepakatan akbar" dengan Amerika Serikat.

Frasa serupa dengan nada bombastis rajin digunakan dalam mufakat tersebut. Riyadh dan Washington tidak hanya menyepakati kerja sama militer, tapi juga alih teknologi termutakhir seperti kecerdasan buatan dan program nuklir untuk keperluan sipil.  

Kucuran bantuan militer dari AS sejatinya merupakan bagian dari upaya normalisasi hubungan diplomasi antara Arab Saudi dan Israel. Namun monarki di Riyadh bersikeras hanya akan berbaiat jika Israel mau mengakui negara Palestina, yang ditolak oleh pemerintahan di Yerusalem Barat. Kebuntuan itu turut menyudahi upaya diplomatik memulihkan relasi kedua negara.

Sebaliknya, menurut berbagai laporan kantor berita Reuters, harian AS The New York Times, serta Financial Times dan The Guardian di Inggris sejak Mei silam, "kesepakatan akbar" antara AS dan Saudi akan terus dilanjutkan, tanpa persetujuan Israel.  

Rincian kesepakatan sejauh ini tidak diketahui. Tapi pakar meyakini, perjanjian dengan AS akan melibatkan ambisi lama Arab Saudi untuk menguasai teknologi nuklir sipil, sebagai bagian dari upaya diversifikasi menjauhi energi fosil.

Namun mufakat tersebut mendulang kontroversi, karena Saudi bertekad memperkaya uranium di dalam negeri, kata Kelsey Davenport, direktur kebijakan nonproliferasi di Arms Control Association di Washington, kepada DW.  

Selain menghasilkan bahan bakar untuk reaktor nuklir sipil, instalasi pengayaan uranium juga bisa digunakan untuk memproduksi bahan baku senjata nuklir. "Arab Saudi bersikeras mengenai hal ini," kata Kelsey. "Riyadh lebih memilih membatalkan perjanjian kerja sama nuklir dengan Washington ketimbang mencabut hak pengayaan."  

September lalu, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman menjadi pusat perhatian ketika menuntut senjata nuklir bagi Arab Saudi jika Iran dibiarkan mengembangkan bom atom. Kedua negara merupakan seteru terbesar di Timur Tengah.

Arab Saudi "tidak bisa dipercaya"

Ketika kesepakatan AS-Saudi mulai ramai diberitakan awal Mei lalu, Senator AS Edward Markey menuliskan keraguannya dalam sebuah surat kepada Presiden Joe Biden.  

"Saya khawatir Arab Saudi, sebuah negara dengan catatan hak asasi manusia yang buruk, tidak bisa dipercaya akan menggunakan program energi nuklir sipilnya semata untuk tujuan damai, dan tidak akan memperkaya uranium demi senjata nuklir," tulis salah satu kepala kelompok kerja pengawasan senjata nuklir di Washington itu.  

Selain risiko nuklir, izin pengayaan uranium bagi Saudi dipercaya berpotensi memicu persaingan regional. "Mengizinkan Arab Saudi untuk menguasai teknologinya dapat menjadi preseden yang bermasalah di tingkat internasional," tulis Manuel Herrera, pakar non-proliferasi nuklir di Istituto Affari Internazionali, sebuah lembaga pemikir Italia, akhir tahun lalu.

"Kesepakatan ini mungkin akan mendorong negara-negara lain seperti Mesir atau Turki untuk mengembangkan kemampuan nuklir serupa, yang mengarah pada kaskade proliferasi di negara-negara Timur Tengah yang saat ini pun sudah bergejolak," lanjutnya.  

Menurut Herrera, kewajiban pemerintah AS adalah membatasi kapasitas produksi dan menjamin pengawasan yang ketat terhadap program pengayaan uranium di Arab Saudi. Pilihan lain bagi pemerintah di Washington adalah mengambil alih sepenuhnya pengoperasian pabrik uranium dengan mengirimkan tenaga ahli Amerika, atau hanya mengizinkan instalasi konversi di Saudi, untuk mengolah bubuk uranium yang diimpor dari luar negeri.  

Saudi juga dapat diminta untuk mematuhi persyaratan ketat, termasuk menandatangani kriteria non-proliferasi khusus berdasarkan Pasal 123 Undang-Undang Energi Atom AS tahun 1954 dan menyetujui inspeksi tambahan oleh Badan Energi Atom Internasional, IAEA. 

"Sejauh yang kami tahu, AS sedang mencoba untuk mengajukan kesepakatan yang sangat mirip dengan yang mereka lakukan dengan Uni Emirat Arab pada tahun 2009, di mana mereka menerapkan Pasal 123 UU Energi Atom," kata Herrera kepada DW dalam sebuah wawancara awal pekan ini.  

Perkaranya, pemerintah Arab Saudi sebelumnya telah menolak usulan tersebut.

AS jauhkan China

Kelsey Davenport, direktur kebijakan nonproliferasi di Arms Control Association, AS, meyakini keinginan Saudi menguasai teknologi nuklir sudah digariskan jauh sebelum "adanya dorongan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel."  

Lagipula, AS bukan satu-satunya negara yang mampu menjual teknologi tersebut kepada Riyadh, menurut Herrera. "Ada negara lain yang juga sudah mengajukan tawaran di atas meja," kata dia kepada DW, merujuk kepada China.  

Selain keuntungan komersial, kesepakatan nuklir dilihat sebagai upaya Washington menjauhkan China dari sekutu terdekatnya di Timur Tengah. Davenport meyakini, perundingan dipercepat karena "pemerintahan Presiden Joe Biden ingin agar kesepakatan ditandatangani sebelum pemilihan presiden."  

Pakar lain berpendapat, keterikatan yang lebih erat dengan Arab Saudi menjamin pengaruh yang lebih besar bagi AS terhadap keputusan Riyadh menyangkut harga minyak.  

Lantas apakah pengayaan uranium di Saudi akan memicu perlombaan nuklir di Timur Tengah? "Ada risikonya," kata Herrera, "Jika Anda memberi salah satu aktor akses terhadap teknologi nuklir, maka perlombaan akan dimulai," ujarnya, sembari menambahkan pagar pembatas dan pengawasan yang maksimal akan mampu meminimalisir risiko pengembangan senjata nuklir.  

Tapi Davenport tidak yakin pengawasan ketat akan membatasi risiko perlombaan nuklir. "Tidak dapat dihindari bahwa akan terjadi peningkatan proliferasi di kawasan ini, namun pengayaan yang dilakukan oleh Saudi membuat hal ini lebih mungkin terjadi," tukasnya.

Sumber : https://news.detik.com/dw/d-7364626/akankah-kesepakatan-as-saudi-picu-perlombaan-nuklir-di-timur-tengah

Tags : Perundingan Nuklir

Artikel Terkait


Komentar


Daftar Komentar


- 0 -