Ilmuwan Temukan yang Diklaim Bisa Selamatkan Manusia saat Perang Nuklir. Foto: Getty Images



Rachmatunnisa - detikInet
Rabu, 07 Feb 2024 05:45 WIB

Jakarta - Di tengah meluasnya perang di Timur Tengah, invasi Rusia ke Ukraina yang masih berlangsung, dan China yang mengancam akan menyerang Taiwan, dunia dihantui situasi perang nuklir.
Para peneliti juga mulai membunyikan alarm mengenai risiko musim dingin yang terjadi akibat perang nuklir, karena Bumi tak terkena sinar Matahari akibat tertutupi 165 juta ton jelaga.

Menurut para ilmuwan pertanian dan atmosfer, situasi yang diakibatkan oleh perang nuklir besar-besaran, dapat mengurangi hasil panen di seluruh dunia, dan mengurangi produksi kalori global sebesar 90%.

Namun, tim peneliti internasional telah menemukan jawaban yang menarik: budidaya rumput laut yang luas, yang digantung di permukaan laut dengan tali dan pelampung. Menurut mereka, cara ini dapat membantu menyelamatkan 1,2 miliar nyawa.

Tim memperkirakan bahwa rata-rata hasil panen sebesar 33,63 ton rumput laut kering atau rumput laut dapat diselamatkan jika dibudidayakan setiap tahunnya. Namun budidaya itu biasanya hanya dilakukan di area permukaan laut secara sederhana.

"Jika kita menggunakan wilayah yang lebih produktif, kita memerlukan sekitar 416.000 km persegi lautan," kata penulis utama studi tersebut, ilmuwan lingkungan Dr. Florian Ulrich Jehn, dikutip dari Daily Mail.

Dalam studinya, Dr. Jehn yang merupakan pimpinan ilmu data untuk Alliance to Feed the Earth in Disasters (ALLFED) yang berbasis di Colorado, berkolaborasi dengan Departemen Ilmu Kelautan dan Pesisir Louisiana State University, salah satu astrofisikawan Jerman, dan ilmuwan dari Texas dan Filipina.

"Biaya ekonomi dari program darurat ini untuk memenuhi kebutuhan pangan miliaran orang selama musim dingin nuklir yang sulit, akan lebih kecil dibandingkan dengan program-program AS yang sukses di masa lalu," kata Dr. Jehn.

"Dalam makalah ini kami membandingkan peningkatan tersebut dengan produksi pesawat terbang di AS pada perang dunia kedua," kata Dr. Jehn.

"Kami memperkirakan bahwa peningkatan ini kemungkinan akan memerlukan sumber daya yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang ada dan oleh karena itu dapat dilakukan, tetapi hal ini masih dalam proses," tambahnya.

Salah satu faktor yang menurut Dr. Jehn masih ambigu, meskipun timnya masih menghitung angka-angkanya, adalah berapa harga sebenarnya rumput laut dalam skenario seperti itu.

Studi mereka, yang diterbitkan bulan ini di jurnal Earth's Future, memanfaatkan model iklim samudra dari perubahan dramatis yang akan terjadi di tengah musim dingin nuklir yang sesungguhnya.

"Ketika permukaan laut menjadi dingin, air menjadi lebih padat, sehingga tenggelam, mendorong sirkulasi vertikal," kata rekan penulis studi Dr. Cheryl Harrison.

Hasilnya adalah gejolak seperti konveksi yang akan mendorong air yang kaya nutrisi dari kedalaman laut ke permukaan, secara efektif menyuburkan wilayah yang dibutuhkan untuk program budidaya akuatik besar-besaran ini.

"Ini secara resmi disebut 'konveksi penetratif', dan merupakan kebalikan dari konveksi yang terjadi di kompor saat Anda merebus pasta, dengan air dingin yang tenggelam, bukan air hangat yang naik, yang mendorong sirkulasi vertikal," jelas Dr. Harrison.

Harrison, yang menjalankan Biophysical Ocean Modeling Lab di Louisiana State University, mengatakan bahwa proses ini telah terdokumentasi dengan baik selama bulan-bulan musim dingin di garis lintang tinggi, namun musim dingin nuklir akan membawa siklus ini lebih dekat ke garis khatulistiwa.

"Pada musim dingin Nuklir, cuaca tetap dingin selama bertahun-tahun, jadi ia terus mengalir, mengaduk air dalam dan nutrisi di sana," seperti yang ia sampaikan melalui email.

"Karena kondisinya gelap dan dingin, nutrisi ini tidak cepat digunakan oleh fitoplankton, alga yang menjadi dasar jaring makanan di lautan," ujarnya.

Sayuran hijau laut yang lebih ramah manusia, seperti rumput laut, menurut Dr. Harrison, berhasil dengan baik dalam kondisi seperti ini, menjadikannya sumber makanan alternatif yang bagus.

Namun, para peneliti menekankan bahwa masyarakat tidak perlu membayangkan masa depan dengan menyendok rumput laut ke dalam piring mereka setiap kali makan.

Karena yodium yang ditemukan dalam rumput laut dapat menjadi racun bagi manusia dalam jumlah besar, kontribusi rumput laut terhadap jaring makanan kemungkinan besar bersifat tidak langsung.

Peternakan rumput laut, menurut perkiraan mereka, hanya akan menggantikan 15% makanan yang dikonsumsi manusia saat ini, namun sebagian besar akan dialihkan ke pakan ternak dan produksi biofuel.

Para peneliti percaya bahwa sebanyak 50% produksi biofuel saat ini dan 10% ternak serta pakan ternak lain yang dibutuhkan dapat dihasilkan oleh peternakan rumput laut di wilayah seluas itu.

Dr. Harrison mengatakan bahwa proyek ini juga tidak terlalu bersifat apokaliptik dan digunakan dalam skenario terburuk.

Ia juga mencatat bahwa proyek tersebut dapat berfungsi sebagai bantuan kemanusiaan menyusul kemungkinan besar terjadinya gangguan pada rantai pasokan makanan global.

Segala sesuatu mulai dari dampak asteroid yang sangat besar atau letusan gunung berapi yang dahsyat hingga kegagalan panen regional atau kekeringan lokal, dapat dikompensasikan dengan program budidaya rumput laut serupa.

"Sepanjang sejarah, letusan besar telah menyebabkan kelaparan baik secara regional maupun global," kata Dr. Harrison.

"Bagaimanapun, kita memerlukan rencana untuk memberi makan diri kita sendiri dalam skenario jika terjadi musim dingin akibat pengurangan sinar Matahari yang tiba-tiba ini," tutupnya.

(rns/rns)

Sumber: https://inet.detik.com/science/d-7180902/ini-yang-bisa-selamatkan-manusia-saat-perang-nuklir

Sumber : Detik

Tags : Perang Nuklir

Artikel Terkait


Komentar


Daftar Komentar


- 0 -