Guru Besar Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Profesor Anton Irawan (Muhammad Iqbal/detikcom)



Kamis, 06 Jun 2024 17:42 WIB

Cilegon - Guru besar teknik kimia dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Profesor Anton Irawan, menyebutkan teknologi energi baru terbarukan (EBT) menelan biaya mahal. Dia berpendapat pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) lebih murah dan nol emisi.

Awalnya, Prof Anton mengatakan transisi energi yang digaungkan ini lebih kepada masalah emisi CO2 yang mengakibatkan efek gas rumah kaca akibat pembakaran bahan bakar fosil.  

"Karena emisi CO2 ini berasal dari pembakaran, lho kemudian CO2 ini bisa diapakan? Kenapa nggak kita kembangkan pemanfaatan CO2 supaya nggak ke angkasa yang mengakibatkan efek gas rumah kaca?" kata Prof Anton dalam sebuah diskusi di Cilegon, Kamis (6/6/2024).

Menurutnya, energi baru terbarukan dan konversi energi (EBTKE) harus tersebar di beberapa titik untuk menghasilkan energi listrik.

Sebaran itu memakan biaya mahal.  "Coba bayangkan, EBTKE itu tersebar.

Dirut PLN aja bilang untuk mengembangkan EBTKE transmisi listriknya dibutuhkan 5.000 lebih km transmisinya, karena transmisinya di remote area tidak di lokasi padat penduduk, untuk membangun transmisi itu yang 5.000 km butuh lebih dari Rp 300 T," katanya.

Bahan bakar fosil seperti batu bara menjadi sorotan atas timbulnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran. Menurut guru besar Untirta ini, ada teknologi bersih batu bara yang sudah dikembangkan oleh negara-negara maju.  

"Kenapa kok kita nggak kembangkan untuk yang bersih gitu? Negara mana yang mengembangkan teknologi bersih batu bara? Negara Jepang namanya.

Clean coal technology yang dikembangkan oleh Jepang oleh NEDO (New Energy Development Organization), sejak saya S1, NEDO yang mengembangkan clean coal technology, makanya dia pakai batu bara," tuturnya.

Di tengah negara-negara maju kembali menggunakan teknologi, lanjutnya, negara-negara berkembang dituntut untuk beralih dari energi fosil ke energi hijau. Dia mencontohkan negara seperti Inggris dan Jerman kembali menghidupkan PLTU batu bara di tengah konflik Rusia dan Ukraina.  

"Pada saat Rusia dan Ukraina berkelahi sekarang gitu, akhirnya stop gas dari Rusia, apa yang terjadi? Inggris langsung hidupkan PLTU batu bara, kemudian Jerman hidupkan PLTU batu bara, nggak konsisten kan? Kenapa? Karena harga mahal kalau pakai gas dari luar, dari Rusia murah.

Kita disuruh beli teknologi mahal dengan EBTKE," kat dia.  "Nah makanya Gibran (Rakabuming Raka, Wapres terpilih) ngomong green inflation, inflasi hijau, itu yang harus kita waspadai," imbuhnya.

Menurut Anton, Indonesia lebih baik menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) karena dianggap lebih murah dan nol emisi.

Kebutuhan bahan bakarnya hanya membutuhkan 30 ton uranium untuk kapasitas listrik 300 megawatt selama 3 tahun  

"Kalau saya berpikir langsung aja pakai (pembangkit listrik tenaga) nuklir, ngapain repot-repot? Nuklir jelas 300 megawatt (butuh) 30 ton uranium untuk 3 tahun, emisinya nol, nggak ada CO2-nya.

Yang kita takutkan apa sih dengan nuklir? Wong Amerika juga pakai, Pakistan pakai, India pakai. Apa bedanya India sama kita? Sama-sama negara yang lagi berkembang, kok," tuturnya.

Anton mengatakan tidak ada yang perlu ditakutkan dari PLTN, tragedi nuklir yang terjadi di beberapa negara memiliki motif tertentu di balik penggunaan nuklir untuk senjata pemusnah massal. Namun, menurutnya, PLTU tidak bisa disamakan.  

"Apa yang ditakutkan dengan nuklir? Hiroshima-Nagasaki? Sengaja jatuhkan bom nuklir untuk menghentikan Perang Dunia Ke-2. Kemudian Chernobyl? Sengaja perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet, maka dihancurkan Chernobyl di Ukraina. Fukushima, karena tsunami," katanya.

Penulis: Muhammad Iqbal - detikNews

Copyright ©Detik 2024

Sumber : https://news.detik.com/berita/d-7377996/profesor-ini-nilai-pltn-lebih-baik-daripada-ebt-kutip-gibran-rakabuming

Tags : PLTN

Artikel Terkait


Komentar


Daftar Komentar


- 0 -