Park dan Kim termasuk ke dalam sekelompok kecil anak muda Korsel yang mempersiapkan diri untuk berperang. Jumlah kelompok ini terus bertambah.(BBC INDONESIA)



Kompas.com - 29/04/2024, 14:51 WIB   BBC News Indonesia, Aditya Jaya Iswara Tim Redaksi

SEOUL, KOMPAS.com - Perlengkapan bertahan hidup sudah dipersiapkan Kim Jung-ho sudah di rumahnya—dia berjaga-jaga apabila perang pecah dengan Korea Utara.  

Pria berusia 30 tahun itu merasa perlengkapannya cukup untuk bertahan selama 72 jam saat keadaan darurat.  

Selain air dan makanan darurat seperti nasi kering, Kim juga menyiapkan peta dan kompas kalau-kalau infrastruktur dasar seperti jaringan telepon seluler dan transportasi publik gagal berfungsi.

Kim bahkan mengemas rompi pelindung dan masker gas. Kim berpikir lebih baik dia menyiapkan diri jika saja peralatan pelindung militer Korea Selatan tidak cukup. Apalagi, Kim adalah satu dari 3,1 juta orang pasukan cadangan militer.  

"Saya tinggal di jantung kota Seoul. Membayangkan semuanya bisa hilang dalam sekejap hanya dengan satu misil membuat bulu kuduk ini merinding," ujar mahasiswa pascasrjana itu.  

Ibu kota Korsel terletak 30 mil atau sekitar 48 kilometer di utara zona demiliterisasi yang didirikan tahun 1953 ketika perjanjian gencatan senjata Perang Korea ditandatangani.  

Akan tetapi, ketegangan di Semenanjung Korea belakangan ini kian meningkat. Korea Utara yang bersenjata nuklir sudah melakukan empat uji coba rudal balistik untuk tahun ini saja.  

Pada April, Korut mengeklaim berhasil menguji coba rudal hipersonik berbahan bakar padat baru yang dapat mencapai Guam.

 

Park mengemas tampon di tas perlengkapan bertahan hidupnya.(BBC INDONESIA)

 

Kim termasuk ke dalam sekelompok kecil anak muda Korsel yang sudah mempersiapkan diri di tengah potensi perang dengan Korut. Meski kecil, jumlah kelompok ini terus bertambah. Sekitar 900 orang sudah bergabung ke setidaknya empat grup di Kakao, aplikasi pesan instan paling populer di Korsel.  

Secara terpisah, komunitas persiapan perang "The Survival School – Daum Café" yang sudah ada sejak tahun 2010 saat ini jumlah anggotanya lebih dari 25.000 orang.  

Meningkatnya jumlah orang Korsel yang siap berperang baru-baru ini menyoroti berkembangnya kegelisahan tentang hubungan antar-Korea seiring kian agresifnya Korut.  

Januari silam, pemimpin Korut Kim Jong Un melabeli Korsel sebagai musuh utama mereka. Kim Jong Un pun menyatakan bahwa reunifikasi damai kedua Korea menjadi mustahil.

Nam Sung-wook, dosen ekonomi politik di Universitas Korea, menyebut hal ini "belum pernah terjadi sebelumnya". Ini berarti Korut bisa jadi menggunakan senjata nuklir terhadap Korsel karena negara itu tak lagi dipandang sebagai saudara seetnis.  

Survei dari Institut Kajian Media Publik KBS menunjukkan lebih dari 75 persen responden merasa cemas atas situasi keamanan saat ini. Angka ini meningkat 19 persen dari tahun 2021 saat survei dimulai.

Berbagai konflik global seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas juga membuat anak muda Korea lebih peka terhadap berkembangnya risiko geopolitik, imbuh Woo Seong-yeop yang menjadi admin "The Survival School - Daum Café".  

Salah satu grup chat yang disebut di awal artikel dibentuk ketika perang Ukraina pecah. Jumlah anggotanya meningkat sepuluh kali lipat menjadi 500 orang dalam kurun dua tahun.  

"Sebelumnya tidak terbersit di benak saya untuk mempersiapkan diri kalau-kalau perang pecah. Tapi lihatlah keadaan dunia sekarang. Sejumlah perang sudah terjadi," ujar Park Hwi bin, seorang instruktur kebugaran.  

Park lulus kursus pelatihan CPR pada tahun lalu.  

Sebagian anggota ingin meninggalkan negara sebelum konflik pecah dengan Korut. Beberapa strategi mereka demi mengamankan tempat tinggal di negara-negara yang lebih aman antara lain belajar bahasa asing, menabung, dan melatih keterampilan baru.  

"Saya dengar kita bisa dapat izin tinggal permanen di Paraguay dengan biaya sebesar 10 juta won (sekitar Rp117 juta)," tulis seorang anggota grup.  

Seorang laki-laki Korsel lainnya yang tidak mau diungkap identitasnya mengaku sudah membangun bunker di rumah dua lantainya di Hwaesong.  

Bunker itu dibangun dengan beton tebal dan dilengkapi pembangkit listrik dan peralatan memasak supaya pria ini bisa menaungi keluarganya—termasuk anaknya yang baru berusia enam tahun—untuk jangka watu lama.  

Laki-laki anonim ini membeli tanah tempat tinggalnya dua tahun silam. Kediamannya jauh dari pangkalan militer AS di Pyeongtaek yang—dalam skenario terburuk—bisa menjadi sasaran pengeboman.

 

Park mempersiapkan tas berisikan kebutuhan mendasar bagi perempuan untuk bertahan hidup.(BBC INDONESIA)

 

Sebagian besar warga Korea menilai orang-orang "siap perang" ini terlalu sensitif. Bahkan Ibu Kim sendiri mengomeli putranya karena "buang-buang uang" untuk perlengkapan bertahan hidup. "Walaupun hubungan antara Korea Utara dan Selatan saat ini tidaklah bagus, saya tidak pernah khawatir soal perang dan menjalani hidup seperti biasa," cetus Lee Young-ah, seorang staf pemasaran berusia 28 tahun kepada BBC.  

Korsel kini berkembang menjadi negara demokrasi yang makmur dan hidup, sekalipun dua Korea secara teknis masih berperang.  

Woo berpendapat bahwa karena sudah berpuluh-puluh tahun hidup dengan damai, kebanyakan orang Korsel "apatis terhadap perang" yang dapat berujung ke "sikap masa bodoh".  

Dia pun menambahkan bahwa sikap khalayak umum terhadap orang-orang yang "siap perang" perlahan-lahan berubah akibat meningkatnya tensi geopolitik.

Kim pun membela diri: "Kalau Anda naik pesawat, mereka menyiapkan alat-alat keamanan, kan? Nah, membeli perlengkapan keamanan sama saja seperti mengencangkan tali sabuk pengaman."  

Park menganalogikan persiapan untuk perang seperti membeli produk asuransi. Namun, seperti halnya banyak bentuk asuransi, tidak ada yang mau menggunakannya.

Sumber: https://www.kompas.com/global/read/2024/04/29/145129170/anak-muda-korsel-mengaku-siap-perang-jika-diserang-korut?page=2

Sumber : Kompas

Tags : Senjata Nuklir

Artikel Terkait


Komentar


Daftar Komentar


- 0 -